Kiprah Dosen Ilmu Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Bandar Lampung (UBL), Rifandy Ritonga S.H., M.H., dalam mengawal berbagai kebijakan pemerintah Kota Bandar Lampung. Kali ini, Rifandy dipercaya sebagai pemateri pada kegiatan Diskusi Publik bertema Ada Apa Dengan APBD Kota Bandar Lampung yang diadakan Lembaga Studi Advokasi kebijakan (LSAKA) di Kafe Dawiels, Jalan RA Kartini Nomor 40, Bandar Lampung, Selasa (7/2) lalu.
Secara umum, Rifandy menuturkan, bahwa keikutsertaan peran akademisi dalam diskusi ini, untuk mengaktualisasi dan mengaplikasikan kiprah sivitas akademika kampus sebagai perwakilan suara masyarakat. Dalam membahas kasus yang menjadi fenomena dan perbincangan dimasyarakat. “Topik diskusi umumnya disesuaikan dengan kelayakan, ditengah muncul isu berkembang di masyarakat tentang permasalahan yang diangkat ini. Untuk itu, diskusi publik ini diselenggarakan sebagai media sharing bagi para akademisi agar tidak salah kaprah dalam menyikapi isu dan menyampaikan pandangan-pandangan (akademis)nya tentang materi tersebut,” Jelasnya.
Terkait komentarnya, Rifandy menyebut kurang maksimalnya pengelolaan tata kelola APBD di Kota Tapis Berseri. Salah satu penyebabnya adalah masih rendahnya partisipasi publik untuk mengakses informasi yang berkaitan dengan transparansi anggaran. Selain itu juga masih rendahnya partisipasi publik dalam mengontrol dan mengawal kinerja pemerintah kota Bandar Lampung dalam merancang, membuat dan menyosialisasikan tatakelola anggaran daerah. “Untuk itu di butuhkan kesadaran masyarakat untuk (berpartisipasi) mendorong kinerja pemerintahnya,” Ucapnya.
Menyikapi hasil dari diskusi publik tersebut. Herman HN merespon positif hasil diskusi dan menyerahkan hasil evaluasi, yang dilakukan bersama pihak-pihak terkait termasuk dari kalangan akademisi kampus. Herman pun siap menyerap hasil diskusi sebagai pola kebijakannya kedepan. “Pemerintah Kota Bandar Lampung bersama pemerintah provinsi sebaiknya duduk bersama mengevaluasi (perincian) APBD Kota Bandar Lampung. Tentu dengan masukan dan pengawasan dari kaum akademisi (termasuk UBL) yang independen. Kita sama-sama berharap,namanya evaluasi itu harus duduk bersama, ada aturan dan dasar hukumnya,” Tutup Herman. (Rep. BMHK/Ed. AX)