Menindaklanjuti pro dan kontra mahasiswa serta masyarakat terhadap Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021, UKM Medikum kembali membuka ruang diskusi bagi mahasiswa UBL pada Jumat (19/11) di Kantin UBL.
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi ramai menjadi perbincangan oleh sejumlah kalangan. Permendikbud No. 30 ini dinilai sangat progresif dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban, salah satunya karena mengatur soal consent atau persetujuan.
Melonjaknya kasus kekerasan seksual di Kota Bandar Lampung yakni dari 12 kasus pada 2020 menjadi 42 kasus pada 2021, Ir. Adi Candra, MM selaku Kepala Dinas PPPA Kota Bandar menyampaikan agar permasalahan tindak kekerasan seksual untuk dapat diselesaikan bersama.
“Tidak hanya pemerintah saja, untuk mencegah ini lembaga masyarakat, masyarakat, keluarga, dan teman-teman mahasiswa harus saling menjaga dan mengingatkan” ujarnya.
Menurut Ana Yunita selaku Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Damar kerap kali tidak ada perlindungan dari kampus bagi korban dan dianggap mencemari nama baik kampus dan menjadi sebuah aib juga mendapat diskriminasi serta stigma negatif dari masyarakat kampus. “Tidak ada yang mendukung dan menganggap korban sebagai objek seks dan normalisasi bagi pelaku seolah-olah itu wajar.” Katanya.
Ia juga menjelaskan bahwa Permendikbud No. 30 merupakan bentuk perlindungan yang baik untuk mengakomodir perlindungan dan kehormatan dari korban terutama perempuan. Melalui perspektifnya pula ia menyampaikan bahwa tidak ada satu pasal pun dalam Permendikbud No. 30 yang melanggar Pancasila dan UUD 1945
“Ini (Permendikbud No. 30) hadir untuk memberikan nuansa kampus yang memberikan perlindungan bagi korban dan sebagai pencegahan pergaulan dan seks bebas.” tambahnya.
Berbeda dengan Ana Yunita, Presiden BEM FH UBL Arya Anasta Adam menyampaikan bahwa meskipun Permendikbud No. 30 benar-benar dibutuhkan terdapat pada beberapa pasal yang frasanya tidak sesuai dengan norma dan lain sebagainya.
“Dalam pasal 5 contohnya, terdapat frasa ‘tanpa persetujuan’. Melihat logika berpikir berjalan apakah bila diizinkan (setuju) maka itu (tindak seksual) dilegalkan, apakah zina dan seks bebas diperbolehkan?” ujarnya.
Dekan FH UBL, Dr. Erlina Bachri., S. H., M. H. menegaskan bahwa Fakultas Hukum sangat mendukung dengan adanya Permendikbud No. 30 namun ada beberapa frasa yang seharusnya diubah
“Tujuan kita ‘kan untuk melindungi korban, seandainya kalimat seperti ‘tanpa persetujuan’ ternyata ada persetujuan berarti kita tidak bisa melindungi korbannya”
Selain menghadirkan Dekan FH UBL Dr. Erlina Bachri., S. H., M. H., Kepala Dinas PPPA Kota Bandar Lampung Ir. Adi Candra MM, Akademisi keperempuanan dan Anak Yulia Hesti, S. H., M. H., Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Damar Ana Yunita Pratiwi, M. Pd., sebagai pembicara, acara ini juga turut dihadiri oleh Presiden BEM FH UBL Arya Anasta Adam, Ketua Umum MCC UBL Nyimas Maharani serta Ketua UKM Medikum Achmad Haidar Lutfi.
Diskusi pada hari tersebut berlangsung selama dua setengah jam dengan perdebatan-perdebatan argumentatif dari mahasiswa dan para pembicara yang saling melempar argumen pada satu sama lain sehingga menciptakan ruang diskusi informatif kepada khalayak mengenai iklim demokrasi kampus. Suasana diskusi tersebut bertahan hingga para pembicara yang closing statement dengan sudut pandang masing-masing dan diakhiri dengan penandatanganan pernyataan sikap. (JV)