Warta UBL – Semakin masifnya pemerhatian publik pada perkembangan rencana reklamasi pesisir Bandarlampung yang mangkrak pasca ditinggal PT Sekar Kanaka Langgeng (SKL), turut menjadi kristisasi pemerhati tata kelola ruang dari Universitas Bandar Lampung (UBL), Dr.Eng. Fritz Akhmad Nutzir, ST, MA (LA) yang mengganggap adanya kasus itu akibat kesalahan dalam perencanaan tata kelola wilayah.
“Bagi saya reklamasi itu seharusnya tidak perlu, kecuali ada permasalahan (tata kelola wilayah) regional yang ingin dipecahkan dengan jelas. Seperti di Singapura akibat ketebatasan lahan, Dubai (Uni Emirat Arab) butuh wilayah sentralisasi pariwisata, Hamburg (Jerman) ingin memisahkan wilayah industri dan pemukiman warga. Tapi,kalau di Bandar Lampung, dasarnya apa?,”tanyanya disela kegiatan dikampus UBL,Rabu (11/5/2016)lalu.
Dalam spekulasinya, akademisi-praktisi Teknik Arsitektur ini menambahkan adanya reklamasi di Bandar Lampung ini akibat melesatnya pembangunan. Termasuk akibat tumbuhkembangnya komersialiasi pengelolaan dan pengembangan lahan wilayah yang akhirnya tidak hanya membatasi tapi juga merusak konservasi wilayah. Terutama dari ketersediaan ruang lahan hijau buat publik.
“Lahan yang tersedia akhirnya dipenuhi buat bangun perumahan, distro (ruko)maupun ranah usaha lain. Akhirnya buat pengembangan wilayah perlu menambah lahan dengan menarik keluar (perluasan) wilayah yang ada. Tanpa perlu mengusir penduduk yang ada (relokasi).Mereka (pemerintah daerah) merasa perlu reklamasi ini karena penting buat menambah luas ruang kota,”ujarnya.
Lebih lanjut, lulusan Doktoral Engineering dari Kitakyushu University Jepang ini melihat adanya kekisruhan mangkraknya reklamasi Bandar Lampung ini akibat kekurang-koordinasian langkah kerja proyek antara pihak pemerintah kota dengan investor.
“Itu akibat kurang jelasnya konsep pengelolaan reklamasi itu arah larinya mau kemana?.Mulai bagaimana konsep transportasinya, pengolahan sampahnya, pemerhatian lingkungannya, sampai tata kelola energinya.Segi dasar mangkrak ini akibat konsep (reklamasi) kurang detail dipahami pihak investor. Seharusnya dari awal proyek ini tidak disetujui oleh pemkot,”tegasnya.
Permasalahan lain menurut ayah dua anak ini, adanya penilaian kekurangan pemkot dengan investor tidak memiliki kesetaraan problem solving yang ingin dipecahkan. Tak hanya itu, Pemkot juga kurang sungguh-sungguh mengakomodir opini publik maupun kajian praktisi-akademisi kampus dalam mengkritisi berbagai permasalahan diwilayah reklamasi.
“Kecuali memang permintaan investor, sehingga pemerintah nurut (saja) sama keinginan rekanan itu. Akibat kurang adanya rekomendasi itu, akhirnya regulasi reklamasi tidak berjalan maksimal (mangkrak),”ujarnya.
Dia pun merasa tak menampik unsur politik juga mengiringi makraknya mega proyek tersebut,apalagi wilayah di Kota tapis berseri ini sebagai wilayah berkembang yang berpotensi sebagai wilayah maju pembangunan diluar Pulau Jawa karena wilayah Bandar Lampung merupakan ibu kota dari provinsi pintu gerbang utama menuju Pulau Sumatera.
“Makanya, pemerintah harus menselektifkan investor pengembang yang masuk,soalnya banyak tipikal investor kuat (dana) diawal pembangunan,tapi dipertengahan (dana investasi) habis akhirnya programnya terbengkalai,”ulasanya.
Kedepan,pakar Environmental Engineering pun memberikan masukan agar permasalahan ini dapat diurai yakni dengan berlaku tegas mengarahkan reklamasi wilayah dalam pengembangan potensi eksplorasi laut maupun kehidupan masyarakat disekitaran wilayah semenajung pantai.
“Nanti kalau memang diarahkan kesana, ujungnya berpengaruh juga pada perilaku dan pola hidup masyarakat sekitar. untuk itu pemerintah harus tegas dalam membuat peraturan dan mengimplementasikan penerapannya,”imbuhnya.
Dalam membantu kinerja pemerintah kota, alumnus S1 arsitektur Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengaku atas nama UBL siap melakukan observasi jika diminta terkait pengelolaan reklamasi ‘mangkrak’ ini terkait masalah dan pencarian solusinya. “Permasalahan ini sudah lama sekali terkatung-katung karena konflik kepentingannya kompleks banget.diharapkan dengan langkah ini, UBL dapat membantu mendesain pengelolaan wilayahnya secara survei regional, menciptakan strategi penyelesaian masalahnya,hingga merancang konsep gambaran tindaklanjut reklamasi yang nihil masalah lagi.Tentu tanpa mengorbankan kehidupan masyarakat dan mengedepankan kearifan lokalnya,”tukasnya. (rilis BMHK UBL/ Insan Ares)